The Last Name Thought
Udara dingin yang menusuk menerpaku. Kubuka mataku. Sinar terang menyilaukan memaksaku menutup mata lagi. Di mana aku?
Kucoba untuk bangun, tetapi tubuhku tidak dapat bergerak, seakan ada yang menahanku. Ada apa ini?
Sayup-sayup kudengar suara-suara tak jelas dan kelebatan bayangan-bayangan putih di sekitarku. Woi, ada apa, sih?
Beberapa detik kemudian, aku baru menyadarinya. Tubuhku terikat pada sebuah meja. Di kepalaku terpasang alat semacam helm aneh yang dihubungkan dengan kabel-kabel. Di sekitarku banyak orang berjubah putih mengerumuniku.
”A..ada apa ini... Dimana aku... Siapa kalian...” akhirnya aku mampu berkata-kata. Pertanyaan demi pertanyaan meluncur dari mulutku.
”Imaidegawa-san, akhirnya Anda sadar juga!”
Aku bertambah bingung. Orang itu tahu namaku.
”Selamat datang di Monster Project, di mana mimpi buruk jadi kenyataan!” seru pria berkumis putih sambil terkekeh-kekeh.
”A..aku tidak mengerti...” ujarku terbata-bata.
”Sebuah kehormatan dapat menghadirkan penulis cerita fantasi terkenal seperti Anda ke sini. Kami akan mewujudkan monster-monster dalam cerita Anda menjadi nyata! Hanya dengan alat sederhana ini,” ia berkata sambil mengetuk-ngetuk helm di kepalaku.
Aku hanya bisa bengong.
”Kami berhasil menciptakan alat untuk mewujudkan buah pikiran menjadi nyata. Hanya dengan memikirkan monster itu, Anda sudah menjadi penciptanya.”
”Ta..tapi kenapa aku? Kenapa harus monster?”
”Monster yang selama ini cuma ada dalam cerita sebelum tidur untuk menakuti anak kecil menjadi nyata. Bukankah itu luar biasa?”
”Luar biasa? Kalian gila! Itu berbahaya!”
Pria itu terkekeh, ”Jangan kuatir, kami bisa mengatasinya. Monster akan menurut pada siapa pun yang dilihatnya pertama kali. Akan lebih mudah apabila Anda mau bekerjasama. Bagaimana?”
”Ha ha ha,” kupaksakan diri tertawa, ”Maaf, aku masih waras. Jangan harap...”
Belum selesai aku berkata, sebuah kejutan listrik membuatku terlonjak.
Tanpa sadar pikiranku beralih pada monster penghancur yang kuciptakan untuk debut novelku.
Kilatan-kilatan listrik tampak mengelilingi sebuah ttabung raksasa tidak jauh dari tempatku diikat. Entah halusinasi atau apa, aku melihat monster penghancurku dalam tabung itu.
”Hah?” aku terperanjat.
”Eureka!”Seru pria itu,”Monster penghancur! Anda memang jenius, Imaidegawa-san!”
Sebelum aku sempat berkata-kata, sentakan listrik itu terjadi lagi,serta merta sosok monster demi monster muncul di pikiranku. Pikiran itu hilang timbul begitu saja tanpa dapat kukontrol
”He...hentikan!” jeritku. Tak seorang pun menggubrisku.Mereka asyik mengagumi dan memindahkan monster-monster yang bermunculan. Monster-monsterku. Semakin banyak monster banyak bermunculan. Tenagakupun semakin terkuras. Aku tidak mampu berpikir lagi. Semakin lama monster yang kuhasilkan semakin lemah. Kudengar pria itu menggerutu kecewa dan menyuruh anak buahnya menghentikan alat itu.
Begitu sengatan istrik berhenti, aku merasa pikiranku kosong dan hampir melayang. Sampai entah kenapa tiba-tiba terbesit sebuah nama: Shigenoi Haruki. Setelah itu semuanya berubah gelap...
~o0o~
Saat tersadar aku sudah sendirian. Kepalaku terasa pusing, namun sudah terbebas dari helm aneh itu. Peralatan aneh itupun sudah dibereskan.
Tiba-tiba aku merasa tidak sendirian. Aku berpaling ke kanan. Sesosok wajah imut yang sangat kukenal tengah menatapku. Matanya yang bulat sebelah kiri berwarna merah yang kanan kuning. Haruki!
”A...aku tidak percaya...” aku terperanjat.
Ia tampak agak bingung. Kemudian tersenyum simpul, ”Kau sadar juga.”
”Syukurlah, Haruki!” aku tidak bisa menyembunyikan rasa senangku. Sebelum pingsan tadi aku sempat bepikir keras untuk menciptakan orang yang dapat menghadapi monster-monster itu. Dan itu terwujud!
”Wah,” ia tampak kaget, ”Sepertinya kau cukup mengenalku. Apa kau bisa menjelaskan apa yang terjadi di sini? Beberapa menit lalu aku sedang santai di atas pohon sambil menikmati buah ceri, tiba-tiba aku berada di sebuah tabung tanpa ceri di tanganku, dan sebelum aku sadar apa yang terjadi kita berdua terkurung di sini.”
”Aku juga tidak sepenuhnya mengerti. Intinya, aku yang memanggilmu ke sini. Aku butuh bantuanmu untuk melawan monster-monster yang tanpa sengaja masuk ke dunia ini.”
”Dunia ini? Maksudmu?”
”Kamu berasal dari dunia maya. Sebuah alat teleportasi telah membawamu bersama monster-monster itu ke dunia nyata. Kalau dibiarkan, Mereka akan menhancurkan dunia ini. Peradaban manusia pun akan musnah.”
”Hmm...” gumamnya mengangguk-angguk,” Aku cukup paham. Lalu apa imbalanku?”
”Apa?”
”Lho, apa kamu belum tahu? Aku kan seorang pemburu hadiah. Aku tidak akan melakukan sesuatu kalau tidak mendapat hadiah.”
”Hadiah, ya... Kamu pasti kamu akaan dapat imbalan yang setimpal. Aku janji.”
”Hmm... Cukup misterius. Aku suka itu! Oh, ya, sebelumnya aku belum tahu namamu.”
”Ryoichi Imaidegawa,” jawabku sambil malu-malu.
”Oke, Ryoichi.” aku agak kaget karena ia memanggil nama depanku.”Pertama-tama kita harus keluar dari sini. Tapi aku tidak mengerti ruangan ini.”
Aku melihat sekeliling. Mataku menangkap sesuatu di sudut ruang. Lubang debu!
”Lewat situ!” seruku.
Kami segera melarikan diri lewat lubang itu. Salurannya cukup panjang, gelap, dan sempit. Samar-samar kulihat cahaya di ujung saluran.
”Kita hampir sampai!” seruku.
Kubuka penutup lubang yang berselimut debu tebal itu dan terperanjat. Serta-merta aku terjatuh. Ujung saluran itu terenyata terletak di lantai 13 gedung itu!
”Hwaaaaa...” aku berusaha mencari pegangan sambil terus tergelincir.
Tiba-tiba Haruki melompat menangkapku, menjadikan pedangnya sebagai pijakan, dan melompat ke atap gedung sebelah.
”Wah, tinggi juga ya... Kalau jatuh dari sini apa masih bisa berbentuk, ya?” ujarnya.
Aku masih berdebar-debar dan tidak mampu berkata-kata.
”So? Apa yangh akan kita lakukan selanjutnya?”
”Kita pulang ke rumahku dulu. Kita bisa menyusun rencana di sana.”
Kami berjalan beriringan pulang ke rumahku. Sesampainya, kami segera membersihkan tubuh kami yang penuh dengan debu. Setelah selesai, kami berbincang sambil makan malam.
”Proyek semacam itu pasti punya laboratorium besar di suatu tempat.”
”Manalagi kalau bukan di gedung itu.”
”Tidak. Mereka akan tertangkap kalau laboratoriumnya di situ. Pasti di suatu tempat tidak jauh dari gedung itu. Mungkin mereka mengkamuflasekannya dengan sesuatu.”
Ia menatapku sambil mengunyah.
”Dugaanku, laboratorium itu ada di bawah tanah. Di bawah mall di samping gedung itu mereka bilang akan menunjukkan pada orang-orang bahwa monster itu ada. Mall itu media yang paling tepat. Iya kan?”
Ia terus menatapku dan tidak menjawab.
Aku jadi salah tingkah. ”Iya kan?” ulangku.
Ia tersenyum.”Mm? Terserah kaulah,” sambil terus menatapku.
Seketika wajahku jadi panas. ” A..aku cuci piring dulu.”
~o0o~
Malam itu aku tidak bisa tidur. Aku pun keluar dari kamar tidurku untuk minum. Ternyata airnya habis. Aku terpaksa merebus air. Ketika sedang menunggu air mendidih, aku melihat Haruki sedang duduk di teras.
”Belum tidur?” tanyaku menghampirinya.
”Hai, aku sedang melihat bintang. Kemarilah! Indah sekali, lho!”
Aku menatap ke langit. Biasa saja menurutku. Kemudian aku duduk di sampingnya.
”Kalau aku merasa kesepian, aku sering melihat bintang. Mereka begitu banyak, tidak pernah muncul sendirian. Aku jadi merasa punya banyak teman. Sayang sekali begitu pagi tiba mereka harus menghilang. Aku mulai sendirian lagi, deh!”
”Oh...” aku bergumam, ”apa kamu selalu sendirian?”
Ia tidak menjawab. Hanya menatapku hampa sambil tersenyum pahit.
Sekonyong-konyong aku teringat kisah yang kubuat tentang Haruki, tragedi yang menimpa keluarga dan teman-temannya. Aku yang membuatnya. Kisah hidup tokoh utama dalam cerita-cerita fantasi terkenal selalu menyedihkan. Itulah yang membuat inti cerita itu menjadi kuat dan disukai. Aku sama sekali tidak pernah membayangkan jika aku menjadi tokoh utama yang harus mengalami penderitaan semacam itu. Dan sekarang si tokoh utama, yang hidupnya telah kuhancurkan, sedang duduk di hadapanku.
”Ryoichi? Kenapa kamu? Raut wajahmu tiba-tiba berubah...” tanyanya lembut.
Kupalingkan pandangan, ”Tidak. Aku hanya teringat hal yang menyedihkan.”
Ia kembali tersenyum, ”Memang tidak ada salahnya mengingat hal yang menyedihkan. Mungkin kadang kita merasa hidup kita dipenuhi hal menyedihkan. Saat seperti itu pasti kita merasa marah pada Pencipta kita yang telah menetapkan takdir kita seburuk ini.”
Aku merasa seperti dadaku tertusuk ribuan paku.
”Tapi kalau dipikir-pikir, Ia menciptakan kita karena Ia ingin kita melakukan sesuatu, yang hanya kita yang bisa melakukannya. Mungkin sekarang kita belum tahu sesuatu itu apa. Tapi pada saatnya kita akan sangat bahagia karena kita sudah melakukannya. Jika saat itu tiba, kita akan rela mati kapanpun juga karena tujuan hidup kita sudah tercapai.”
Aku terenyak. Kata-katanya serasa menamparku. Haruskah kuberitahu yang sebenarnya padanya?
”Haruki...”
”Hmm?”
”Aku benar-benar minta maaf...”
”Maaf? Untuk apa?”
”Sebenarnya aku... aku...”
Ia tampak mendengarkan dengan seksama. Tetapi lidahku terasa berat untuk melanjutkan kata-kataku.
”Kenapa?”
”Mm..aku adalah...’
PIIIIIIIIIP!!!!!
Tiba-tiba air yang kurebus berbunyi. Hampir saja aku lupa kalau sedang merebus air. Aku segera berlari ke dapur untuk mematikan kompor. Ketika berbalik, Haruki sudah ada di belakangku.
”Wah, benda aneh apa ini? Kok bisa mengeluarkan suara sepeerti itu?” tanyanya sambil mengagumi ceret dekilku.
Ia berpaling kepadaku, ”O,ya, tadi apa yang ingin kaukatakan?”
”Oh...apa ya? Maaf, aku lupa!” ujarku terbata-bata. Aku berusaha mengalihkan pembicaraan.
”Sudah malam. Bagaimana kalau kita tidur saja? Besok kan kita harus mencari laboratorium monster.”
~o0o~
Keesokan harinya, kami bergegas menuju tepat yang kucurigai sebagai laboratorium monster. Setelah mencari-cari di sekeliling mall, kami menemukan pintu ke saluran bawah tanah. Haruki membukanya dan setelah memastikan keadaan, kami segera masuk.
Kami tiba di terowongan panjang yang mirip saluran air, sampai kemudian saluran itu bercabang dua.
”Wah, susah, nih! Bagaimana kalau kita berpencar saja?” usulku.
”Hmm..sebenarnya aku kurang setuju. Tapi okelah. Jaga dirimu, ya!” ia berkata sambil menepuk bahuku.
Kami pun berpencar. Aku menyusuri lorong panjang itu. Kemudian aku melihat pintu.
Akhirnya, pikirku. Aku segera berlari pelan-pelan ke pintu itu. Sekitar 2 meter dari pintu itu, tiba-tiba lantai di bawah kakiku runtuh.
”Aaaaahhh...” jeritku saat terjatuh ke bawah. Makin dalam. Dalam. Menembus kegelapan.
Tiba-tiba aku membentur lantai yang keras. BRUK!
”Wah, lihat siapa yang datang!” sebuah suara yang sangat kukenal berseru. Pria berkumis putih!
”Imaidegawa-san sudah kuduga Anda tertarik pada proyek kami.”
”Tertarik apanya? Aku ke sini untuk menghancurkan proyekmu!” semburku.
”Begitu? Oke. Penjaga, ikat dia!”
Aku meronta-ronta tetapi penjaga-penjaga itu terlalu besar dan kuat. Mereka mengikatku ke sebuah tiang.
”Kasihan sekali jagoanmu itu! Ia ke sini hanya untuk menjadi santapan monster-monsterku!”
”Haruki pasti akan menggagalkan proyekmu! Dan satu lagi. Mereka bukan monster milikmu!”
”Hmm...percaya diri sekali Anda bicara seperti itu. Apa Anda tidak berpikir apa yang akan dilakukan Haruki kalau tahu Anda yang telah menghancurkan hidupnya?”
Aku terdiam beberapa saat. ”Ia akan membunuhku.”
Pria tua itu tertawa, ”Hmm...kurasa lebih adil kalau Anda juga berusaha melawannya kan?”
Tiba-tiba aku punya firasat buruk.
”Penjaga, keluarkan Mind-eater!” perintah pria itu.
Firasat burukku terbukti. Mind-eater, monster pemakan pikiran ciptaanku. Ia mampu mengubah pikiran orang menjadi jahat.
”Hentikan! Jangan lakukan itu!”
”Jangan takut, Imaidegawa-san! Tentunya Anda lebih tahu bahwa orang yang pikirannya dimakan Mind-eater akan mendapatkan kekuatan dari pikiran jahatnya. Anda tidak akan kalah melawan Haruki.”
”Tidak! Tidak! Hentikan! Tolong!!” aku terus meronta-ronta sementara Mind-eater makin mendekat.
~o0o~
Begitu tersadar aku berada di dalam lorong gelap. Kudengar derap langkah seseorang berlari mendekat. Itu Haruki.
”Ryoichi, kamu baik-baik saja? Aku cemas sekali mendengar jeritanmu tadi...” ia berkata sambil terengah-engah.
Tanpa bisa kucegah,tanganku bergerak sendiri mencabut sebilah pedang dari pinggang Haruki dan menyerangnya. Untung saja tidak kena. Ia menghindar sambil memekik kaget.
”Ryoichi?” ia tampak bingung.
Tubuhku terus bergerak sendiri. Berusaha menebas Haruki.
Lari, Haruki! Aku berseru dengan suara yang tidak bisa keluar.
”Kenapa Ryoichi?” Haruki berkata sambil berusaha menangkis seranganku, ”Apa yang terjadi?”
Aku tidak bisa mengendalikan tubuhku. Lenganku terus bergerak untuk menusukk Haruki. Haruki hanya bisa menghindar tanpa mengadakan perlawanan balasan. Sampai akhirnya ia terpojok. Punggungnya menabrak dinding lorong dan sebelum aku mengetahui apa yang terjadi, pedangku telah menancap di dadanya. Kemudian tanganku bergerak mencabut pedang itu. Darah segar menyembur ke wajahku.
Saat itu entah kenapa aku sedikit dapat mengontrol tubuhku. Susah payah aku berusaha berkata-kata.
”Pergilah, Haruki... aku akan membunuhmu...”
”Tidak, Ryoichi. Aku tidak akan meninggalkanmu sendiri lagi.”
”Dasar, bodoh! Kamu mengalami semua ini gara-gara aku. Aku yang merencanakan semua nasib buruk yang kaualami.”
Ia tebatuk-batuk. Darah menyemprot dari mulutnya.
”Aku tahu, Ryoichi. Kamu kan yang membuat aku. Aku hidup hanya karena kamu menginginkannya. Kamu berhak melakukan padaku apa saja yang kamu inginkan. Aku ini milikmu.”
Kata-katanya terhenti sebentar. Ia menarik napas panjang dan melanjutkan, ”Aku sangat senang kamu telah memberiku kesempatan untuk hidup, dengan memenggil namaku untuk terakhir kali. Terima kasih atas kesempatan yang kudapatkan untuk bertemu denganmu. Terima kasih atas semua waktu yang telah kita lalui bersama. Kamu yang telah memberikan kehidupan kepadaku. Kamu pula yang berhak mencabutnya.”
Aku tidak sanggup berkata-kata. Air mata yang membasahi pelupuk mataku mengalir perlahan ke pipiku.
”Tapi sekarang aku belum boleh mati,” ia melanjutkan, ”Masih ada yang harus keselesaikan... Aku akan menyelamatkanmu. Membebaskanmu dari kekuatan jahat ini. Biarkan aku melindungimu dan menjadi penopangmu, Ryoichi.”
”Haruki...kenapa...”
”Aishiteru kara...”
THE END
By: Michiro
Kucoba untuk bangun, tetapi tubuhku tidak dapat bergerak, seakan ada yang menahanku. Ada apa ini?
Sayup-sayup kudengar suara-suara tak jelas dan kelebatan bayangan-bayangan putih di sekitarku. Woi, ada apa, sih?
Beberapa detik kemudian, aku baru menyadarinya. Tubuhku terikat pada sebuah meja. Di kepalaku terpasang alat semacam helm aneh yang dihubungkan dengan kabel-kabel. Di sekitarku banyak orang berjubah putih mengerumuniku.
”A..ada apa ini... Dimana aku... Siapa kalian...” akhirnya aku mampu berkata-kata. Pertanyaan demi pertanyaan meluncur dari mulutku.
”Imaidegawa-san, akhirnya Anda sadar juga!”
Aku bertambah bingung. Orang itu tahu namaku.
”Selamat datang di Monster Project, di mana mimpi buruk jadi kenyataan!” seru pria berkumis putih sambil terkekeh-kekeh.
”A..aku tidak mengerti...” ujarku terbata-bata.
”Sebuah kehormatan dapat menghadirkan penulis cerita fantasi terkenal seperti Anda ke sini. Kami akan mewujudkan monster-monster dalam cerita Anda menjadi nyata! Hanya dengan alat sederhana ini,” ia berkata sambil mengetuk-ngetuk helm di kepalaku.
Aku hanya bisa bengong.
”Kami berhasil menciptakan alat untuk mewujudkan buah pikiran menjadi nyata. Hanya dengan memikirkan monster itu, Anda sudah menjadi penciptanya.”
”Ta..tapi kenapa aku? Kenapa harus monster?”
”Monster yang selama ini cuma ada dalam cerita sebelum tidur untuk menakuti anak kecil menjadi nyata. Bukankah itu luar biasa?”
”Luar biasa? Kalian gila! Itu berbahaya!”
Pria itu terkekeh, ”Jangan kuatir, kami bisa mengatasinya. Monster akan menurut pada siapa pun yang dilihatnya pertama kali. Akan lebih mudah apabila Anda mau bekerjasama. Bagaimana?”
”Ha ha ha,” kupaksakan diri tertawa, ”Maaf, aku masih waras. Jangan harap...”
Belum selesai aku berkata, sebuah kejutan listrik membuatku terlonjak.
Tanpa sadar pikiranku beralih pada monster penghancur yang kuciptakan untuk debut novelku.
Kilatan-kilatan listrik tampak mengelilingi sebuah ttabung raksasa tidak jauh dari tempatku diikat. Entah halusinasi atau apa, aku melihat monster penghancurku dalam tabung itu.
”Hah?” aku terperanjat.
”Eureka!”Seru pria itu,”Monster penghancur! Anda memang jenius, Imaidegawa-san!”
Sebelum aku sempat berkata-kata, sentakan listrik itu terjadi lagi,serta merta sosok monster demi monster muncul di pikiranku. Pikiran itu hilang timbul begitu saja tanpa dapat kukontrol
”He...hentikan!” jeritku. Tak seorang pun menggubrisku.Mereka asyik mengagumi dan memindahkan monster-monster yang bermunculan. Monster-monsterku. Semakin banyak monster banyak bermunculan. Tenagakupun semakin terkuras. Aku tidak mampu berpikir lagi. Semakin lama monster yang kuhasilkan semakin lemah. Kudengar pria itu menggerutu kecewa dan menyuruh anak buahnya menghentikan alat itu.
Begitu sengatan istrik berhenti, aku merasa pikiranku kosong dan hampir melayang. Sampai entah kenapa tiba-tiba terbesit sebuah nama: Shigenoi Haruki. Setelah itu semuanya berubah gelap...
~o0o~
Saat tersadar aku sudah sendirian. Kepalaku terasa pusing, namun sudah terbebas dari helm aneh itu. Peralatan aneh itupun sudah dibereskan.
Tiba-tiba aku merasa tidak sendirian. Aku berpaling ke kanan. Sesosok wajah imut yang sangat kukenal tengah menatapku. Matanya yang bulat sebelah kiri berwarna merah yang kanan kuning. Haruki!
”A...aku tidak percaya...” aku terperanjat.
Ia tampak agak bingung. Kemudian tersenyum simpul, ”Kau sadar juga.”
”Syukurlah, Haruki!” aku tidak bisa menyembunyikan rasa senangku. Sebelum pingsan tadi aku sempat bepikir keras untuk menciptakan orang yang dapat menghadapi monster-monster itu. Dan itu terwujud!
”Wah,” ia tampak kaget, ”Sepertinya kau cukup mengenalku. Apa kau bisa menjelaskan apa yang terjadi di sini? Beberapa menit lalu aku sedang santai di atas pohon sambil menikmati buah ceri, tiba-tiba aku berada di sebuah tabung tanpa ceri di tanganku, dan sebelum aku sadar apa yang terjadi kita berdua terkurung di sini.”
”Aku juga tidak sepenuhnya mengerti. Intinya, aku yang memanggilmu ke sini. Aku butuh bantuanmu untuk melawan monster-monster yang tanpa sengaja masuk ke dunia ini.”
”Dunia ini? Maksudmu?”
”Kamu berasal dari dunia maya. Sebuah alat teleportasi telah membawamu bersama monster-monster itu ke dunia nyata. Kalau dibiarkan, Mereka akan menhancurkan dunia ini. Peradaban manusia pun akan musnah.”
”Hmm...” gumamnya mengangguk-angguk,” Aku cukup paham. Lalu apa imbalanku?”
”Apa?”
”Lho, apa kamu belum tahu? Aku kan seorang pemburu hadiah. Aku tidak akan melakukan sesuatu kalau tidak mendapat hadiah.”
”Hadiah, ya... Kamu pasti kamu akaan dapat imbalan yang setimpal. Aku janji.”
”Hmm... Cukup misterius. Aku suka itu! Oh, ya, sebelumnya aku belum tahu namamu.”
”Ryoichi Imaidegawa,” jawabku sambil malu-malu.
”Oke, Ryoichi.” aku agak kaget karena ia memanggil nama depanku.”Pertama-tama kita harus keluar dari sini. Tapi aku tidak mengerti ruangan ini.”
Aku melihat sekeliling. Mataku menangkap sesuatu di sudut ruang. Lubang debu!
”Lewat situ!” seruku.
Kami segera melarikan diri lewat lubang itu. Salurannya cukup panjang, gelap, dan sempit. Samar-samar kulihat cahaya di ujung saluran.
”Kita hampir sampai!” seruku.
Kubuka penutup lubang yang berselimut debu tebal itu dan terperanjat. Serta-merta aku terjatuh. Ujung saluran itu terenyata terletak di lantai 13 gedung itu!
”Hwaaaaa...” aku berusaha mencari pegangan sambil terus tergelincir.
Tiba-tiba Haruki melompat menangkapku, menjadikan pedangnya sebagai pijakan, dan melompat ke atap gedung sebelah.
”Wah, tinggi juga ya... Kalau jatuh dari sini apa masih bisa berbentuk, ya?” ujarnya.
Aku masih berdebar-debar dan tidak mampu berkata-kata.
”So? Apa yangh akan kita lakukan selanjutnya?”
”Kita pulang ke rumahku dulu. Kita bisa menyusun rencana di sana.”
Kami berjalan beriringan pulang ke rumahku. Sesampainya, kami segera membersihkan tubuh kami yang penuh dengan debu. Setelah selesai, kami berbincang sambil makan malam.
”Proyek semacam itu pasti punya laboratorium besar di suatu tempat.”
”Manalagi kalau bukan di gedung itu.”
”Tidak. Mereka akan tertangkap kalau laboratoriumnya di situ. Pasti di suatu tempat tidak jauh dari gedung itu. Mungkin mereka mengkamuflasekannya dengan sesuatu.”
Ia menatapku sambil mengunyah.
”Dugaanku, laboratorium itu ada di bawah tanah. Di bawah mall di samping gedung itu mereka bilang akan menunjukkan pada orang-orang bahwa monster itu ada. Mall itu media yang paling tepat. Iya kan?”
Ia terus menatapku dan tidak menjawab.
Aku jadi salah tingkah. ”Iya kan?” ulangku.
Ia tersenyum.”Mm? Terserah kaulah,” sambil terus menatapku.
Seketika wajahku jadi panas. ” A..aku cuci piring dulu.”
~o0o~
Malam itu aku tidak bisa tidur. Aku pun keluar dari kamar tidurku untuk minum. Ternyata airnya habis. Aku terpaksa merebus air. Ketika sedang menunggu air mendidih, aku melihat Haruki sedang duduk di teras.
”Belum tidur?” tanyaku menghampirinya.
”Hai, aku sedang melihat bintang. Kemarilah! Indah sekali, lho!”
Aku menatap ke langit. Biasa saja menurutku. Kemudian aku duduk di sampingnya.
”Kalau aku merasa kesepian, aku sering melihat bintang. Mereka begitu banyak, tidak pernah muncul sendirian. Aku jadi merasa punya banyak teman. Sayang sekali begitu pagi tiba mereka harus menghilang. Aku mulai sendirian lagi, deh!”
”Oh...” aku bergumam, ”apa kamu selalu sendirian?”
Ia tidak menjawab. Hanya menatapku hampa sambil tersenyum pahit.
Sekonyong-konyong aku teringat kisah yang kubuat tentang Haruki, tragedi yang menimpa keluarga dan teman-temannya. Aku yang membuatnya. Kisah hidup tokoh utama dalam cerita-cerita fantasi terkenal selalu menyedihkan. Itulah yang membuat inti cerita itu menjadi kuat dan disukai. Aku sama sekali tidak pernah membayangkan jika aku menjadi tokoh utama yang harus mengalami penderitaan semacam itu. Dan sekarang si tokoh utama, yang hidupnya telah kuhancurkan, sedang duduk di hadapanku.
”Ryoichi? Kenapa kamu? Raut wajahmu tiba-tiba berubah...” tanyanya lembut.
Kupalingkan pandangan, ”Tidak. Aku hanya teringat hal yang menyedihkan.”
Ia kembali tersenyum, ”Memang tidak ada salahnya mengingat hal yang menyedihkan. Mungkin kadang kita merasa hidup kita dipenuhi hal menyedihkan. Saat seperti itu pasti kita merasa marah pada Pencipta kita yang telah menetapkan takdir kita seburuk ini.”
Aku merasa seperti dadaku tertusuk ribuan paku.
”Tapi kalau dipikir-pikir, Ia menciptakan kita karena Ia ingin kita melakukan sesuatu, yang hanya kita yang bisa melakukannya. Mungkin sekarang kita belum tahu sesuatu itu apa. Tapi pada saatnya kita akan sangat bahagia karena kita sudah melakukannya. Jika saat itu tiba, kita akan rela mati kapanpun juga karena tujuan hidup kita sudah tercapai.”
Aku terenyak. Kata-katanya serasa menamparku. Haruskah kuberitahu yang sebenarnya padanya?
”Haruki...”
”Hmm?”
”Aku benar-benar minta maaf...”
”Maaf? Untuk apa?”
”Sebenarnya aku... aku...”
Ia tampak mendengarkan dengan seksama. Tetapi lidahku terasa berat untuk melanjutkan kata-kataku.
”Kenapa?”
”Mm..aku adalah...’
PIIIIIIIIIP!!!!!
Tiba-tiba air yang kurebus berbunyi. Hampir saja aku lupa kalau sedang merebus air. Aku segera berlari ke dapur untuk mematikan kompor. Ketika berbalik, Haruki sudah ada di belakangku.
”Wah, benda aneh apa ini? Kok bisa mengeluarkan suara sepeerti itu?” tanyanya sambil mengagumi ceret dekilku.
Ia berpaling kepadaku, ”O,ya, tadi apa yang ingin kaukatakan?”
”Oh...apa ya? Maaf, aku lupa!” ujarku terbata-bata. Aku berusaha mengalihkan pembicaraan.
”Sudah malam. Bagaimana kalau kita tidur saja? Besok kan kita harus mencari laboratorium monster.”
~o0o~
Keesokan harinya, kami bergegas menuju tepat yang kucurigai sebagai laboratorium monster. Setelah mencari-cari di sekeliling mall, kami menemukan pintu ke saluran bawah tanah. Haruki membukanya dan setelah memastikan keadaan, kami segera masuk.
Kami tiba di terowongan panjang yang mirip saluran air, sampai kemudian saluran itu bercabang dua.
”Wah, susah, nih! Bagaimana kalau kita berpencar saja?” usulku.
”Hmm..sebenarnya aku kurang setuju. Tapi okelah. Jaga dirimu, ya!” ia berkata sambil menepuk bahuku.
Kami pun berpencar. Aku menyusuri lorong panjang itu. Kemudian aku melihat pintu.
Akhirnya, pikirku. Aku segera berlari pelan-pelan ke pintu itu. Sekitar 2 meter dari pintu itu, tiba-tiba lantai di bawah kakiku runtuh.
”Aaaaahhh...” jeritku saat terjatuh ke bawah. Makin dalam. Dalam. Menembus kegelapan.
Tiba-tiba aku membentur lantai yang keras. BRUK!
”Wah, lihat siapa yang datang!” sebuah suara yang sangat kukenal berseru. Pria berkumis putih!
”Imaidegawa-san sudah kuduga Anda tertarik pada proyek kami.”
”Tertarik apanya? Aku ke sini untuk menghancurkan proyekmu!” semburku.
”Begitu? Oke. Penjaga, ikat dia!”
Aku meronta-ronta tetapi penjaga-penjaga itu terlalu besar dan kuat. Mereka mengikatku ke sebuah tiang.
”Kasihan sekali jagoanmu itu! Ia ke sini hanya untuk menjadi santapan monster-monsterku!”
”Haruki pasti akan menggagalkan proyekmu! Dan satu lagi. Mereka bukan monster milikmu!”
”Hmm...percaya diri sekali Anda bicara seperti itu. Apa Anda tidak berpikir apa yang akan dilakukan Haruki kalau tahu Anda yang telah menghancurkan hidupnya?”
Aku terdiam beberapa saat. ”Ia akan membunuhku.”
Pria tua itu tertawa, ”Hmm...kurasa lebih adil kalau Anda juga berusaha melawannya kan?”
Tiba-tiba aku punya firasat buruk.
”Penjaga, keluarkan Mind-eater!” perintah pria itu.
Firasat burukku terbukti. Mind-eater, monster pemakan pikiran ciptaanku. Ia mampu mengubah pikiran orang menjadi jahat.
”Hentikan! Jangan lakukan itu!”
”Jangan takut, Imaidegawa-san! Tentunya Anda lebih tahu bahwa orang yang pikirannya dimakan Mind-eater akan mendapatkan kekuatan dari pikiran jahatnya. Anda tidak akan kalah melawan Haruki.”
”Tidak! Tidak! Hentikan! Tolong!!” aku terus meronta-ronta sementara Mind-eater makin mendekat.
~o0o~
Begitu tersadar aku berada di dalam lorong gelap. Kudengar derap langkah seseorang berlari mendekat. Itu Haruki.
”Ryoichi, kamu baik-baik saja? Aku cemas sekali mendengar jeritanmu tadi...” ia berkata sambil terengah-engah.
Tanpa bisa kucegah,tanganku bergerak sendiri mencabut sebilah pedang dari pinggang Haruki dan menyerangnya. Untung saja tidak kena. Ia menghindar sambil memekik kaget.
”Ryoichi?” ia tampak bingung.
Tubuhku terus bergerak sendiri. Berusaha menebas Haruki.
Lari, Haruki! Aku berseru dengan suara yang tidak bisa keluar.
”Kenapa Ryoichi?” Haruki berkata sambil berusaha menangkis seranganku, ”Apa yang terjadi?”
Aku tidak bisa mengendalikan tubuhku. Lenganku terus bergerak untuk menusukk Haruki. Haruki hanya bisa menghindar tanpa mengadakan perlawanan balasan. Sampai akhirnya ia terpojok. Punggungnya menabrak dinding lorong dan sebelum aku mengetahui apa yang terjadi, pedangku telah menancap di dadanya. Kemudian tanganku bergerak mencabut pedang itu. Darah segar menyembur ke wajahku.
Saat itu entah kenapa aku sedikit dapat mengontrol tubuhku. Susah payah aku berusaha berkata-kata.
”Pergilah, Haruki... aku akan membunuhmu...”
”Tidak, Ryoichi. Aku tidak akan meninggalkanmu sendiri lagi.”
”Dasar, bodoh! Kamu mengalami semua ini gara-gara aku. Aku yang merencanakan semua nasib buruk yang kaualami.”
Ia tebatuk-batuk. Darah menyemprot dari mulutnya.
”Aku tahu, Ryoichi. Kamu kan yang membuat aku. Aku hidup hanya karena kamu menginginkannya. Kamu berhak melakukan padaku apa saja yang kamu inginkan. Aku ini milikmu.”
Kata-katanya terhenti sebentar. Ia menarik napas panjang dan melanjutkan, ”Aku sangat senang kamu telah memberiku kesempatan untuk hidup, dengan memenggil namaku untuk terakhir kali. Terima kasih atas kesempatan yang kudapatkan untuk bertemu denganmu. Terima kasih atas semua waktu yang telah kita lalui bersama. Kamu yang telah memberikan kehidupan kepadaku. Kamu pula yang berhak mencabutnya.”
Aku tidak sanggup berkata-kata. Air mata yang membasahi pelupuk mataku mengalir perlahan ke pipiku.
”Tapi sekarang aku belum boleh mati,” ia melanjutkan, ”Masih ada yang harus keselesaikan... Aku akan menyelamatkanmu. Membebaskanmu dari kekuatan jahat ini. Biarkan aku melindungimu dan menjadi penopangmu, Ryoichi.”
”Haruki...kenapa...”
”Aishiteru kara...”
THE END
By: Michiro
Komentar